Senin, 26 Maret 2012

MUHI ~ TO BE NUMBER ONE

Oleh Sumarjo, S Pd 

Kampus Darussakinah yang menyejukkan, Islami, dan unggul itu adalah Muhi, nama popular untuk SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Banyak orang mengira MUHI adalah singkatan dari sekolah muhammadiyah. Jadi ada Muhi 1, Muhi 2, Muhi 3 dst. Bagi anak Muhi pasti lucu mendengarnya, dan mereka akan protes! Intinya Muhi adalah SMA Muhammadiyah 1. (titik)! Kenapa anak Muhi bangga dengan sebutan Muhi? Karena Muhi nomor 1. Meskipun tidak Mutu? (maksudnya~Muhammadiyah 7) Muhi tetap nomor 1. Inilah potensi mendasar yang ada pada civitas akademika di kampus Muhi. Mereka ingin menjadi nomor 1, do the best, terdepan! Mulai dari Kepala sekolah, guru, karyawan, ikwam, dan tentu saja siswa semua ingin menjadi yang terbaik.
Motivasi untuk menjadi nomor 1 ini sesungguhnya modal luar biasa Muhi untuk benar-benar the best! Begitulah selalu tertanam dalam alam bawah sadar. Menurut Sigmund Freud, kepribadian manusia seperti gunung es yang terapung di laut. Hanya 10% yang terlihat berada dalam kesadaran, dan 90% adalah potensi gunung es yang terendam di laut, yang disebut alam bawah sadar. Alam bawah sadar inilah yang akan membentuk kepribadian seseorang. Jadi potensi alam bawah sadar sebesar 90% inilah yang harus terus kita pupuk untuk kemudian menjadi karakter dalam diri kita do the best, dalam setiap aktivitas, baik sifatnya intelektual, seni, olah raga, kemasyarakatan, termasuk ibadah keagamaan. Karakter menjadi nomor 1 dalam mencapai sebuah prestasi tertinggi dalam kehidupan ini lebih mengacu pada sikap kedewasaan mental (maturity), lebih dimaksudkan pada konsistensi pada komitmen untuk mengerahkan segala yang terbaik.
Bagaimana membangun karakter ini? Pertama, pimpinan sekolah, dalam hal ini Kepala sekolah dan jajarannya sangat signifikan pengaruhnya. Salah satu tugas pimpinan adalah memberi visi atau arahan kepada anak buah. Mau di bawa kemana sekolah ini? Menjadi sekolah yang adem ayem, mapan, statis, tanpa gejolak! Toh sudah terkenal, tinggal menjaganya! Atau sekolah yang dinamis, melesat, berkembang, menjulang nun jauh tinggi dilangit? Atau sekolah yang nyaman dan dinamis, up to date, dan berprestasi dalam segala hal? Jika hanya mengandalkan adem ayem semua akan off to date, karena kompetitor kita sudah melesat, kita hanya bisa merenung dan tertinggal. Demikian juga jika orientasi sekolah hanya prestasi, prestasi dan prestasi! Sekolah hanya akan menjadi pabrik: bising, garing dan jauh dari nuansa humanis. Tentu pimpinan sekolah harus mampu memompa semangat seluruh keluarga Muhi, menunjukkan jalan, mendampingi, mensejahterakan, dan memberi keteladanan: kita adalah nomor 1! Sekolah yang nyaman huni, guru dan karyawan sejahtera, berprestasi siswanya, dan tetap islami dalam ridlo-Nya.
Kedua, guru sebagai ujung tombak jalannya proses pendidikan. Guru adalah gerbang pengetahuan bagi para siswa. Guru adalah pelita semua hiruk-pikuk persekolahan. Guru adalah embun segar segala kegalauan siswa. Guru jangan digurui, guru juga tidak mungkin dituntun untuk sekedar melangkah maju. Guru cukup diajak rembugan ketika suatu kebijakan diberlakukan. Kepada gurulah semua mata tertuju, menanti, bergantung, dan berharap. Marilah mencanangkan (berkomitmen) diri menjadi guru terbaik do the best. Guru yang cerdas, sholeh, gaul, matang, care, dan inspiratif serta tertib dalam segala tugas kedinasan dan kemasyarakatan.
Ketiga, karyawan sebagai kaki dan tangan bahkan darah dalam tubuh persekolahan. Beliaulah yang menjadi software dan hardware perangkat persekolahan. Keharmonisan guru-karyawan-siswa adalah keniscayaan untuk do the best. Jauhi kesenjangan, wujudkan sinergi yang chemist antara guru-karyawan-siswa. Menjadi karyawan bukanlah pelayan biasa, karena gurupun pada prinsipnya adalah pelayan siswa, Kepala sekolah pelayan bawahan, seperti juga pejabat negara adalah pelayan masyarakat. Sebagai karyawan, mestinya kita bisa menempatkan diri sesuai porsi. Bekerja sebaik mungkin sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dan memberi pelayanan sebagai ibadah muamalah kita. Kita bisa meniru jargon di PKU Muhammadiyah, “layananku adalah ibadahku”. Apalagi kita di lingkungan pendidikan, yakni lingkungan investasi masa depan untuk generasi yang lebih baik dari kita di masa yang akan datang.
Keempat, siswa sebagai objek sekaligus subjek pendidikan. Sebagai objek karena siswa yang menjadi orientasi pelayanan di sekolah. Sebagai subjek karena siswalah yang menentukan keberhasilan, nama besar dan humas paling efektif kepada masyarakat tentang Muhi yang sesungguhnya. Menjadi no 1 mestinya sudah menjadi ‘rumus’ ketika seorang siswa mau masuk Muhi. Inilah potensi karakter yang belum benar-benar tergali oleh sekolah. Survei sederhana yang pernah penulis lakukan menunjukkan bahwa siswa Muhi mayoritas berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah keatas, penampilan yang berkelas, dan kemampuan intelektual yang cukup. Yang perlu disadari, bahwa siswa Muhi ini ribuan, dengan potensi yang beraneka ragam, dan kecerdasan multiintelligent. Mampukah sekolah (dalam hal ini manajemen sekolah dan guru) mengeksplorasi potensi luar biasa siswa kita ini?
Pendidikan kita belum sepenuhnya berhasil menggali potensi siswa. Jika seorang siswa berprestasi dalam sebuah even kejuaraan, (maaf!) bukan sepenuhnya andil dari guru. Keberhasilan ini lebih banyak karena bakat bawaan anak, latihan yang intensif, dan hoby yang menjadi kebiasaan. Bagaimana meningkatkan andil sekolah dalam menggali potensi siswa? (1) Sekolah harus mengagendakan lomba/ kejuaraan tingkat sekolah dalam semua bidang. Misal Liga Muhi di cabang olah raga, maka bidang seni (karya siswa, cerpen), intelektual (semacam CCA, Lomba karya ilmiah), sastra (pidato bahasa Arab, Inggris, Indonesia), dan lomba-lomba yang lain harus menjadi agenda rutin tahunan dan alokasi dana yang jelas. (2) Keberhasilan siswa dan guru selalu di tampilkan/disosialisasikan di forum upacara/apel, rapat, seminar sebagai wujud apresiasi sekolah. Hal ini akan memotivasi siswa atau guru lain untuk berprestasi. (3) memberi ruang dan kesempatan serta bimbingan kepada siswa untuk lebih menunjukkan eksistensi diri. Jangan terlalu mengekang kreativitas siswa. Banyak ide kreatif siswa yang kandas karena kurang komunikasi dengan sekolah. Siswa maunya begini, sekolah maunya begitu. Gak ketemu! Siswa SMA sesungguhnya memiliki energi luar biasa besar untuk berkiprah dalam masyarakat. Guru hanya perlu menekankan tanggung jawab dan kehati-hatian terhadap apa yang dilakukan siswa. (4) mengikutkan siswa dalam berbagai lomba yang dilakukan lembaga lain. Kesempatan untuk menjadi juara terbuka, dan ini merupakan pembelajaran ketrampilan hidup (life skill) yang luar biasa setelah nanti tamat dari sekolah. Membiasakan diri fastabiqul khoirot untuk menjadi yang terbaik.
Akhirul kalam, kepada siswa semuanya marilah potensi mendasar dalam diri selalu kita pupuk dengan banyak belajar, banyak bertanya, banyak berlatih, banyak membaca, banyak berdoa, dan banyak-banyak yang lain. Kepada guru, jika kita mampu menggali potensi dalam diri siswa, maka bakat terpendam yang terdapat dalam alam bawah sadar untuk menjadi nomor 1 tinggal memoles dan memompa dengan motivasi yang kuat niscaya mereka akan bersinar layaknya ‘SANG SURYA”.

 Guru Geografi SMA Muhi