Sabtu, 14 Juni 2008

UNIVERSITAS KEHIDUPAN

Oleh Sumarjo, S. Pd*

Belajar merupakan kebutuhan bagi setiap orang, bukan sekedar kewajiban. Pada dasarnya setiap orang ingin maju, berkembang, dan menjadi lebih baik. Inilah proses belajar, dan kesadaran ini juga muncul karena proses belajar. Sayangnya tidak semua orang di bumi ini punya kesempatan belajar, terutama di sekolah atau lembaga atau kelompok-kelompok resmi dalam masyarakat. Jika mereka tidak sempat sekolah apakah mereka tidak bisa hidup? Ternyata bisa! Mereka tetap bisa hidup, bahkan mampu berkarya, menciptakan budaya dan peradaban di muka bumi.

Contoh paling primitif dan terkuna bagi sejarah kehidupan manusia adalah ketika dua putra Nabi Adam yakni Habil dan Qobil berseteru hingga terjadilah peristiwa pembunuhan yang pertama. Dalam kisah itu untuk memperebutkan pasangan hidup, Qobil rela membunuh saudara kandungnya yaitu Habil. Ketika peristiwa sudah berlangsung, Qobil bingung bagaimana menghilangkan jejak dan mengubur jasad saudaranya. Saat itulah Qobil melihat pertarungan dua hewan antara burung dengan ular yang dimenangkan oleh burung. Selanjutnya burung tersebut mencakar-cakar tanah untuk kemudian menyeret bangkai ular dan ditanamlah bangkai tersebut di dalam tanah. Begitulah ilustrasi sederhana tentang proses belajar.

Selama ini belajar identik ada di dalam kelas, duduk manis, mendengar, menulis, menjawab pertanyaan guru kemudian ujian, dan lulus. Inilahlah contoh ‘ideal’ seorang murid jaman dahulu. Banyak contoh membuktikan setelah lulus sekolah atau kuliah, anak ini bingung mau apa? Yang bisa dilakukan akhirnya dengan mencari kerja, menunggu dan menunggu pekerjaan. Jika tidak dapat pekerjaan akhirnya jadi pengangguran, berarti menjadi beban masyarakat dan negara. Inilah hasil pendidikan kita!

Fakta di lapangan banyak orang yang tidak lulus dari bangku kuliah namun mampu mengubah dunia. Bill Gates misalnya, karena ketekunan mampu menciptakan dan mengelola perusahaan komputer dan mampu mengubah dunia dengan perusahaan software microsofnya. Mereka yang sukses di dalam kehidupan karena bisa belajar dari kehidupan. Artinya belajar tidak harus di bangku sekolah namun belajar bisa lewat mana saja termasuk lewat kehidupan sehari-hari. Inilah belajar yang sesungguhnya yang kita sebut ‘universitas kehidupan’.

Belajar sesungguhnya tidak harus dibangku sekolah atau bangku kuliah. Belajar disana dikatakan mengenyam pendidikan formal, padahal pendidikan bisa dilakukan dimana saja. Semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru. Pengalaman adalah guru yang paling baik. Sejarah adalah guru besar dalam kehidupan. Belajar model ini dikatakan pendidikan non formal. Pendidikan formal maupun non formal sama untuk membentuk manusia menjadi lebih baik. Disini kita tidak akan membahas mana yang lebih baik. Seorang yang belajar di lembaga formal mengatakan bahwa pendidikan non-formal lebih humanis dan match (sesusai) dengan kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Sementara orang yang mengikuti pendidikan non formal menilai pendidikan formal lebih menjanjikan, lebih diakui masyarakat/negara sehingga menjadi tujuan dan harapan masyarakat. Pandangan ini bisa dikatakan sesuai dengan pepatah ‘rumput tetangga lebih hijau’. Karena itu antara lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal mesti saling melengkapi, menyesuaikan dan bersama-sama membangun masyarakat, tanpa perlu merasa rendah diri atau merasa lebih hebat antara yang satu dengan yang lain.

Berikut penulis paparkan pengalaman selama mengikuti kuliah pendidikan profesi atau pendidikan sertifikasi di Universitas Negeri Malang (UM). Untuk meningkatkan kompetensi dan membentuk guru yang profesional sesuai dengan amanat UU tentang pendikan nasional, bagi guru yang belum ikut portofolio dan memenuhi syarat tertentu di beri kesempatan untuk pendidikan sertiifikasi selama 2 semester. Pengalaman penulis selama mengikuti pendidikan tersebut sangat banyak. Diantaranya, jika selama ini kami cukup puas dengan mengajar memenuhi tugas tatap muka minimal 18 jam, kemudian ‘khotbah’ di depan kelas dan ada sedikit variasi pembelajaran dengan pendekatan Contekstual Teaching and Learning dengan diskusi, game dsb., kemudian mengadakan ulangan harian, tugas, ujian mid dan uji kompetensi akhir semester. Untuk mengajar, kami membuat program, mengikuti silabus yang ada dengan melihat standar isi yang ada, kemudian membuat persiapan dengan membuat RPP yang cenderung “copi paste” dari guru lain. Sudah! inilah guru yang baik. Begitulah pandangan penulis.

Dengan menjadi ‘mahasiswa’ di UM selama ini, kami banyak mendapat pencerahan. Secara teoritis sebagai guru bersertifikasi yang profesional, guru dituntut memiliki delapan kompetensi, dan syarat-syarat administrasi lain yang terlalu ‘heboh’ jika dibahas disini. Penulis ingin menyampaikan di luar kajian teoritis yang bersifat akademis. Kadang yang kami dapatkan dari para dosen pengampu, sebagai ‘mahasiswa tua’ justru lebih menyentuh nurani dan kesadaran kami tentang hakikat kehidupan. Karena memang sesuai dengan perkembangan kognitif dan psikologi kami yang tidak lagi mampu menghapal materi mata kuliah. Kami sudah mulai berpikir tentang hakikat dan makna kehidupan. Sehingga jika di dalam kelas kami diajak berbagi pengalaman dan motivasi dalam menjalani hidup kami lebih antusias dan punya semangat membara untuk membaginya kepada anak didik setelah kembali ke tempat tugas kita nantinya.

Rasanya tidak sabar untuk berbagi ilmu tingkat tinggi ini kepada anak didik kami satu tahun yang akan datang, kami ingin berbagi kepada masyarakat umum, khususnya pembaca yang mulia pada kesempatan ini. Dengan tidak mengurangi hormat kami kepada para dosen pengampu di kelas kami yang rata-rata Doktor dan Profesor, kami merasa mendapat kehormatan untuk itu. Banyak ilmu yang kami dapatkan, pada kesempatan ini hanya dua yang bisa kami sampaikan, diantaranya apa yang disampaikan Bapak Prof Dr Eddy Purwanto, M Pd. Beliau melontarkan bahwa sekarang ini ada fenomena ‘kampus pindah di pasar dan pasar pindah ke kampus’. Apa maknanya?

Fenomena ini ada dalam keseharian kita, namun apa sempat kita cermati? Kita lihat, sekarang ini pasar tidak lagi bau amis, jorok, panas, ramai, kacau dan semrawut. Pasar sekarang harum, dingin, tenang, ramah dan teratur. Pasar sekarang tidak ada pedagang yang berisik, norak dan ribut menjajakan barang dagangannya. Para pengunjungpun santun, tertib dan tidak berani menawar. Inilah pasar modern yang dinamakan swalayan, hipermarket atau mall. Mana berani pengunjung menawar? Semua cukup membaca label harga yang ada, cocok, bungkus!

Sementara di sebagian kampus, kita lihat ada peminta-minta, rumput liar, dan keriuhan para mahasiswa ketika tidak ada guru atau dosen. Dengan alasan menghilangkan stress karena berbagai tugas dan beban lainnya banyak mahasiswa menghabiskan waktu di kampus untuk mengobrol, ketawa-ketiwi, bahkan terbahak-bahak. Kondisi ini tidak hanya di luar gedung kampus, didalam ruang kuliahpun mereka bercanda tiada henti, bahkan di perpustakaanpun bisa mengobrol non stop. Kenapa waktu yang ada tidak dimanfaatkan untuk membaca? Bukankah ilmu bisa di dapat dari buku? Bukankah banyak informasi dari papan-papan pengumuman? Mengapa informasi ini diacuhkan saja?

Mungkin ada yang perlu kita hidupkan lagi di dunia kampus kita yaitu tradisi dan kecintaan membaca. Bercanda memang perlu untuk mengendorkan ketegangan otak. Namun perlu diingat bahwa banyak tertawa akan mematikan hati. Bagaimana jika hati para akademisi dan ilmuwan mati? Pantaslah jika di dunia kampus, masih sering kita dengar perkelahian antar mahasiswa, antar fakultas atau antar perguruan tinggi. Disana ada kompetisi, namun kompetisi jalanan. Dimana intelektual, logika dan kepedulian mereka? Tulisan ini mencoba membuka mata dan hati kita bersama, bukan untuk menyalahkan atau menghakimi.

Ilmu tentang kehidupan yang kedua, ingin penulis paparkan disini. Falsafah ini penulis dapatkan dari dosen muda yang cerdas, energik dan santun. Beliau menjadi Doktor termuda pada usia 29 tahun. Dalam sebuah kuliah, Bapak Dr Ludi Wishnu Wardana, S.T., S.E., S. Pd., MM menyampaikan falsafah hidup Ninja, “Seorang Ninja tidak akan pernah mengeluh atau putus asa meski hanya membawa tatung ketika lawannya membawa katana”. Tatung adalah pedang pendek dan katana adalah pedang panjang. Apa maknanya?

Kita tidak boleh menyerah. Apapun kondisi kita, jangan mendahului kehendak Tuhan. Novel ilmiah tertralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata memberi inspirasi kepada kita, bahwa kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Kita bangun mimpi untuk kita wujudkan. Banyak yang menilai berbagai kelemahan di dunia pendidikan kita, dari kurikulum yang terlalu padat, sering ganti-ganti, pendidikan yang mahal, ujian nasional yang mematikan sampai pada kompetensi guru yang rendah dan tidak adanya link and match antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja. Menyelesaikan masalah pendidikan seperti mengurai benang kusut tercebur di lumpur. Seperti itukah?

Untuk keluar dari masalah kita tidak cukup mengeluh, apa yang bisa kita lakukan, lakukan sekarang! Dari mana kita memulai, dari mana saja dan pada posisi apa saja kita mampu memulainya. Sebagai guru, tidak perlu menunggu petunjuk dari Kepala Sekolah atau dinas untuk berkarya. Mengajar dengan hati, selalu inovatif, memahami kondisi siswa, lentingkan potensi anak setinggi mungkin. Kerahkan segala daya dan upaya dan semua potensi kita (meskipun kecil) untuk memperbaiki dunia pendidikan, untuk membawa Indonesia sejajar dengan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia mampu keluar dari berbagai masalah yang multikrisis ini lewat jalur pendidikan. Eropa, Cuba, Jepang, Korea sudah membuktikan. Kapan Indonesia???

*Sumarjo, S Pd.

Guru SMP N 9 Yogyakarta

Peserta Pendidikan Sertifikasi guru melalui jalur pendidikan di Universitas Negeri Malang (UM) NIM 007401054517

Tidak ada komentar: