Sabtu, 14 Juni 2008

UNIVERSITAS KEHIDUPAN

Oleh Sumarjo, S. Pd*

Belajar merupakan kebutuhan bagi setiap orang, bukan sekedar kewajiban. Pada dasarnya setiap orang ingin maju, berkembang, dan menjadi lebih baik. Inilah proses belajar, dan kesadaran ini juga muncul karena proses belajar. Sayangnya tidak semua orang di bumi ini punya kesempatan belajar, terutama di sekolah atau lembaga atau kelompok-kelompok resmi dalam masyarakat. Jika mereka tidak sempat sekolah apakah mereka tidak bisa hidup? Ternyata bisa! Mereka tetap bisa hidup, bahkan mampu berkarya, menciptakan budaya dan peradaban di muka bumi.

Contoh paling primitif dan terkuna bagi sejarah kehidupan manusia adalah ketika dua putra Nabi Adam yakni Habil dan Qobil berseteru hingga terjadilah peristiwa pembunuhan yang pertama. Dalam kisah itu untuk memperebutkan pasangan hidup, Qobil rela membunuh saudara kandungnya yaitu Habil. Ketika peristiwa sudah berlangsung, Qobil bingung bagaimana menghilangkan jejak dan mengubur jasad saudaranya. Saat itulah Qobil melihat pertarungan dua hewan antara burung dengan ular yang dimenangkan oleh burung. Selanjutnya burung tersebut mencakar-cakar tanah untuk kemudian menyeret bangkai ular dan ditanamlah bangkai tersebut di dalam tanah. Begitulah ilustrasi sederhana tentang proses belajar.

Selama ini belajar identik ada di dalam kelas, duduk manis, mendengar, menulis, menjawab pertanyaan guru kemudian ujian, dan lulus. Inilahlah contoh ‘ideal’ seorang murid jaman dahulu. Banyak contoh membuktikan setelah lulus sekolah atau kuliah, anak ini bingung mau apa? Yang bisa dilakukan akhirnya dengan mencari kerja, menunggu dan menunggu pekerjaan. Jika tidak dapat pekerjaan akhirnya jadi pengangguran, berarti menjadi beban masyarakat dan negara. Inilah hasil pendidikan kita!

Fakta di lapangan banyak orang yang tidak lulus dari bangku kuliah namun mampu mengubah dunia. Bill Gates misalnya, karena ketekunan mampu menciptakan dan mengelola perusahaan komputer dan mampu mengubah dunia dengan perusahaan software microsofnya. Mereka yang sukses di dalam kehidupan karena bisa belajar dari kehidupan. Artinya belajar tidak harus di bangku sekolah namun belajar bisa lewat mana saja termasuk lewat kehidupan sehari-hari. Inilah belajar yang sesungguhnya yang kita sebut ‘universitas kehidupan’.

Belajar sesungguhnya tidak harus dibangku sekolah atau bangku kuliah. Belajar disana dikatakan mengenyam pendidikan formal, padahal pendidikan bisa dilakukan dimana saja. Semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru. Pengalaman adalah guru yang paling baik. Sejarah adalah guru besar dalam kehidupan. Belajar model ini dikatakan pendidikan non formal. Pendidikan formal maupun non formal sama untuk membentuk manusia menjadi lebih baik. Disini kita tidak akan membahas mana yang lebih baik. Seorang yang belajar di lembaga formal mengatakan bahwa pendidikan non-formal lebih humanis dan match (sesusai) dengan kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Sementara orang yang mengikuti pendidikan non formal menilai pendidikan formal lebih menjanjikan, lebih diakui masyarakat/negara sehingga menjadi tujuan dan harapan masyarakat. Pandangan ini bisa dikatakan sesuai dengan pepatah ‘rumput tetangga lebih hijau’. Karena itu antara lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal mesti saling melengkapi, menyesuaikan dan bersama-sama membangun masyarakat, tanpa perlu merasa rendah diri atau merasa lebih hebat antara yang satu dengan yang lain.

Berikut penulis paparkan pengalaman selama mengikuti kuliah pendidikan profesi atau pendidikan sertifikasi di Universitas Negeri Malang (UM). Untuk meningkatkan kompetensi dan membentuk guru yang profesional sesuai dengan amanat UU tentang pendikan nasional, bagi guru yang belum ikut portofolio dan memenuhi syarat tertentu di beri kesempatan untuk pendidikan sertiifikasi selama 2 semester. Pengalaman penulis selama mengikuti pendidikan tersebut sangat banyak. Diantaranya, jika selama ini kami cukup puas dengan mengajar memenuhi tugas tatap muka minimal 18 jam, kemudian ‘khotbah’ di depan kelas dan ada sedikit variasi pembelajaran dengan pendekatan Contekstual Teaching and Learning dengan diskusi, game dsb., kemudian mengadakan ulangan harian, tugas, ujian mid dan uji kompetensi akhir semester. Untuk mengajar, kami membuat program, mengikuti silabus yang ada dengan melihat standar isi yang ada, kemudian membuat persiapan dengan membuat RPP yang cenderung “copi paste” dari guru lain. Sudah! inilah guru yang baik. Begitulah pandangan penulis.

Dengan menjadi ‘mahasiswa’ di UM selama ini, kami banyak mendapat pencerahan. Secara teoritis sebagai guru bersertifikasi yang profesional, guru dituntut memiliki delapan kompetensi, dan syarat-syarat administrasi lain yang terlalu ‘heboh’ jika dibahas disini. Penulis ingin menyampaikan di luar kajian teoritis yang bersifat akademis. Kadang yang kami dapatkan dari para dosen pengampu, sebagai ‘mahasiswa tua’ justru lebih menyentuh nurani dan kesadaran kami tentang hakikat kehidupan. Karena memang sesuai dengan perkembangan kognitif dan psikologi kami yang tidak lagi mampu menghapal materi mata kuliah. Kami sudah mulai berpikir tentang hakikat dan makna kehidupan. Sehingga jika di dalam kelas kami diajak berbagi pengalaman dan motivasi dalam menjalani hidup kami lebih antusias dan punya semangat membara untuk membaginya kepada anak didik setelah kembali ke tempat tugas kita nantinya.

Rasanya tidak sabar untuk berbagi ilmu tingkat tinggi ini kepada anak didik kami satu tahun yang akan datang, kami ingin berbagi kepada masyarakat umum, khususnya pembaca yang mulia pada kesempatan ini. Dengan tidak mengurangi hormat kami kepada para dosen pengampu di kelas kami yang rata-rata Doktor dan Profesor, kami merasa mendapat kehormatan untuk itu. Banyak ilmu yang kami dapatkan, pada kesempatan ini hanya dua yang bisa kami sampaikan, diantaranya apa yang disampaikan Bapak Prof Dr Eddy Purwanto, M Pd. Beliau melontarkan bahwa sekarang ini ada fenomena ‘kampus pindah di pasar dan pasar pindah ke kampus’. Apa maknanya?

Fenomena ini ada dalam keseharian kita, namun apa sempat kita cermati? Kita lihat, sekarang ini pasar tidak lagi bau amis, jorok, panas, ramai, kacau dan semrawut. Pasar sekarang harum, dingin, tenang, ramah dan teratur. Pasar sekarang tidak ada pedagang yang berisik, norak dan ribut menjajakan barang dagangannya. Para pengunjungpun santun, tertib dan tidak berani menawar. Inilah pasar modern yang dinamakan swalayan, hipermarket atau mall. Mana berani pengunjung menawar? Semua cukup membaca label harga yang ada, cocok, bungkus!

Sementara di sebagian kampus, kita lihat ada peminta-minta, rumput liar, dan keriuhan para mahasiswa ketika tidak ada guru atau dosen. Dengan alasan menghilangkan stress karena berbagai tugas dan beban lainnya banyak mahasiswa menghabiskan waktu di kampus untuk mengobrol, ketawa-ketiwi, bahkan terbahak-bahak. Kondisi ini tidak hanya di luar gedung kampus, didalam ruang kuliahpun mereka bercanda tiada henti, bahkan di perpustakaanpun bisa mengobrol non stop. Kenapa waktu yang ada tidak dimanfaatkan untuk membaca? Bukankah ilmu bisa di dapat dari buku? Bukankah banyak informasi dari papan-papan pengumuman? Mengapa informasi ini diacuhkan saja?

Mungkin ada yang perlu kita hidupkan lagi di dunia kampus kita yaitu tradisi dan kecintaan membaca. Bercanda memang perlu untuk mengendorkan ketegangan otak. Namun perlu diingat bahwa banyak tertawa akan mematikan hati. Bagaimana jika hati para akademisi dan ilmuwan mati? Pantaslah jika di dunia kampus, masih sering kita dengar perkelahian antar mahasiswa, antar fakultas atau antar perguruan tinggi. Disana ada kompetisi, namun kompetisi jalanan. Dimana intelektual, logika dan kepedulian mereka? Tulisan ini mencoba membuka mata dan hati kita bersama, bukan untuk menyalahkan atau menghakimi.

Ilmu tentang kehidupan yang kedua, ingin penulis paparkan disini. Falsafah ini penulis dapatkan dari dosen muda yang cerdas, energik dan santun. Beliau menjadi Doktor termuda pada usia 29 tahun. Dalam sebuah kuliah, Bapak Dr Ludi Wishnu Wardana, S.T., S.E., S. Pd., MM menyampaikan falsafah hidup Ninja, “Seorang Ninja tidak akan pernah mengeluh atau putus asa meski hanya membawa tatung ketika lawannya membawa katana”. Tatung adalah pedang pendek dan katana adalah pedang panjang. Apa maknanya?

Kita tidak boleh menyerah. Apapun kondisi kita, jangan mendahului kehendak Tuhan. Novel ilmiah tertralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata memberi inspirasi kepada kita, bahwa kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Kita bangun mimpi untuk kita wujudkan. Banyak yang menilai berbagai kelemahan di dunia pendidikan kita, dari kurikulum yang terlalu padat, sering ganti-ganti, pendidikan yang mahal, ujian nasional yang mematikan sampai pada kompetensi guru yang rendah dan tidak adanya link and match antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja. Menyelesaikan masalah pendidikan seperti mengurai benang kusut tercebur di lumpur. Seperti itukah?

Untuk keluar dari masalah kita tidak cukup mengeluh, apa yang bisa kita lakukan, lakukan sekarang! Dari mana kita memulai, dari mana saja dan pada posisi apa saja kita mampu memulainya. Sebagai guru, tidak perlu menunggu petunjuk dari Kepala Sekolah atau dinas untuk berkarya. Mengajar dengan hati, selalu inovatif, memahami kondisi siswa, lentingkan potensi anak setinggi mungkin. Kerahkan segala daya dan upaya dan semua potensi kita (meskipun kecil) untuk memperbaiki dunia pendidikan, untuk membawa Indonesia sejajar dengan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia mampu keluar dari berbagai masalah yang multikrisis ini lewat jalur pendidikan. Eropa, Cuba, Jepang, Korea sudah membuktikan. Kapan Indonesia???

*Sumarjo, S Pd.

Guru SMP N 9 Yogyakarta

Peserta Pendidikan Sertifikasi guru melalui jalur pendidikan di Universitas Negeri Malang (UM) NIM 007401054517

Rabu, 11 Juni 2008

menjadi lansia mulia

Ini buku pertama yang ingin saya terbitkan, namun belum ada penerbit yang mau. Mungkin ada yang tertarik untuk menerbitkan. Berikut pengantarnya

Ketika kita menyambut kelahiran bayi ada perasaan bahagia yang luar biasa, bahwa akan lahir manusia baru yang mudah-mudahan lebih baik dari kita. Setelah anak itu lahir bagaimana caranya kita akan membentuk, mendidik, meladeni dan membesarkannya. Semua nasihat, teori dan buku-buku siap dipraktekkan demi sang buah hati. Semoga kelak anaknya menjadi manusia yang cerdas, sehat lahir batin, berhasil dunia dan akhirat menjadi kebanggaan keluarga.

Kebanyakan yang jadi sorotan dan bahasan berbagai literature adalah bagaimana mendidik anak dan membentuk generasi yang akan datang. Penekanan ini tidak salah, karena memang anak-anak kitalah yang akan meneruskan perjuangan ini, pewujud mimpi-mimpi dan idealisme kita. Dibalik itu semua sadarkah kita bahwa generasi saat ini berasal dari generasi masa lalu? Dan seorang yang bijaksana tidak akan melupakan begitu saja masa lalu. Masa lalu (baca: generasi tua) adalah pencetak generasi saat ini dan generasi sekarang akan mencetak generasi mendatang.

Ada yang kadang kita lupakan yakni kehidupan di usia lanjut. Dalam studi psikologi perkembangan komtemporer atau perkembangan rentang hidup (life span development), wilayah pembahasannya tidak lagi terbatas pada perubahan-perubahan perkembangan selama masa anak-anak dan remaja saja, melainkan juga menjangkau masa dewasa menjadi tua, hingga meninggal dunia. Bahwa perkembangan hidup manusia tidak berakhir dengan tercapainya kematangan fisik, namun merupakan proses berkesinambungan mulai dari masa konsepsi, sesudah lahir, masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga menjadi lansia. Perubahan kondisi fisik yang terjadi sepanjang hidup, mempengaruhi sikap, proses kognitif, dan perilaku individu. Hal ini berarti bahwa permasalahan yang harus diatasi juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu sepanjang rentang hidup.

Bagaimana lika-liku kehidupan lansia? Secara umum lansia dapat dilihat dari perkembangan fisik, kognitif, dan psikososialnya. Seseorang dikatakan dewasa ketika memasuki usia 21 tahun dan terus berkembang hingga mencapai usia 65 tahun. Masa dewasa lanjut atau masa tua (lansia) berlangsung dari sekitar usia 65 tahun sampai meninggal (Feldman, 1996 dalam Desmita, 2005: 234). Perkembangan fisik meliputi kesehatan badan, sensor dan perseptual, serta perkembangan otak. Kondisi fisik seseorang mencapai puncaknya pada usia 18 hingga 25 tahun, sejak usia 25 tahun dan seterusnya perubahan-perubahan fisik sudah mulai terlihat mengalami kemunduran. Hal ini ditunjukkan dengan mudah terserang penyakit, indera penglihatan, indera pendengaran, indera perasa, indera pencium, indera peraba sudah mulai berkurang kemampuannya. Demikian pula sel-sel otak sudah mulai berkurang hingga menimbulkan erosi mental yang disebut pikun, bahkan penyakit Alzheimer. Kondisi ini menyebabkan kemampuan kognitif lansia berkurang, seperti memori, kreativitas, intelegensi dan kemampuan belajarnya.

Dilihat dari aspek psikososial, pada masa dewasa awal, sekitar usia 20 – 35 tahun, seorang individu akan mengalami masa transisi, dimana ia harus menghadapi persoalan dalam menentukan tujuan yang lebih serius. Selama usia 30-an, fokus perhatian individu lebih diarahkan pada keluarga dan pengembangan karir. Pada tahun-tahun berikutnya selama periode pertengahan dewasa ini, individu memasuki fase BOOM –Becoming One’s Own Man (fase menjadi diri sendiri). Pada usia 40, individu telah mencapai kestabilan dalam karir, telah berhasil mengatasi dan menguasai kelemahan-kelemahan sebelumnya untuk belajar menjadi orang dewasa, dan sekarang harus menatap ke depan kehidupan yang akan dijalaninya sebagai orang dewasa usia tengah baya.

Menurut hasil penelitian Bernice Neugarden, orang dewasa yang berusia antara 40-50 dan awal 60 tahun adalah orang-orang yang mulai suka melakukan intropeksi dan banyak merenungkan tentang apa yang sebetulnya sedang terjadi di dalam dirinya. Banyak diantara mereka yang berpikir untuk ’berbuat sesuatu dalam sisa hidupnya’. Orang dewasa yang berusia 40 tahun keatas secara mental juga mulai mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu menghadapi pesoalan yang bakal terjadi. Pria sering memikirkan kesehatan tubuhnya, serangan jantung dan kematian. Wanita, disamping juga memikirkan hal-hal tersebut, ketakutan menjadi janda merupakan persoalan yang banyak membebani pikirannya (Desmita, 2005: 252)

Bagaimana kita berinteraksi dengan orang-orang tua (lansia). Bagaimana kita mempersiapkan diri kelak menjadi lansia? Ingat bahwa lansia adalah diri kita masa yang akan datang. Cukupkah kita serahkan orang tua yang telah mendidik dan membesarkan kita itu ke Panti Jompo? Relakah diri kita jika kelak sudah tua tinggal di Panti Jompo? Kebanyakan orang berpandangan bahwa orang tua sudah tidak produktif, hanya sebagai beban anak, menghambat karir dan sebagainya? Benarkah? Bukanlah lansia adalah diri kita di masa yang akan datang? Sudikah kita saat menjadi lansia kelak hanya sebagai beban anak cucu kita? Banyak hal yang menjadi bahasan tentang lansia. Sangat menarik.

Petuah Jawa menyebutkan bahwa orang tua disebut piyantun sepuh yang artinya disesep-sesep ampuh. Maksudnya dari orang tua itulah kita harus mengambil ilmu biar bisa mumpuni atau tahu segala hal. Orang tua juga disebut simbah maksudnya iso kanggo tambah-tambah atau bisa buat mencukupi kekurangan anak/cucunya. Betapa mulianya seorang lansia. Kemulian itu merupakan hasil dari proses panjang belajar, beramal dan berguna bagi sesama.

Suatu riwayat shahabat Ali Bin Abi Tholib RA terlambat jamaah sholat subuh. Waktu itu Ali akan menuju masjid sholat subuh berjamaah, namun karena didepan jalannya ada orang tua yang sedang berjalan, beliau tidak ingin mendahului sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua tersebut. Atas perbuatan ini Allah ridlo sehingga dalam sholat berjamaah di masjid saat ruku’ Allah mengutus malaikat Jibril untuk menekan punggung Rasulullah sebagai Imam sehingga sholatnya bertambah lama dan Shahabat Ali dapat ikut berjamaah.

Banyak pertanyaan dan kecemasan yang kadang terselip di hati kita sebagai calon lansia atau jika kelak ‘merawat’ lansia. Bagi pembaca yang telah memasuki lansia, semoga buku ini dapat dijaadikan ‘cermin’ diri, kira-kira beginikah kondisiku saat ini. Saat kita beercermin, ketika dicermin muncul penampakan ompong, peyot, bongkok, lelah, jangan terus dipecahkan cermin itu. Saatnya kita introspeksi, muhasabah, dan mulai berbenah. Biarlah aku ompong, peyot, jelek dan seterusnya, namun aku punya ‘sesuatu’ yang mereka tidak punya. “’Sesuatu’ inilah yang nanti akan kita kupas panjang lebar yang bermuara pada suatu kemuliaan, hingga kelak menjadi lansia mulia. Bagi pembaca yang masih belia, semoga buku ini mampu membuka cakrawala bagaimana seharusnya kita bergaul dengan para lansia, khususnya dengan orang tua atau nenek/kakek kita? Dan tentunya bagaimana diri kita sendiri mempersiapkan masa lansia yang penuh kemuliaan itu? Semoga buku ini mampu membuka hati untuk lebih mencintai orang tua kita, memberi sumbahsih pemikiran dan perenungan yang mendalam perlunya memuliakan leluhur kita. Jika kebetulan orang tua kita sudah meninggal, perlukah ritual mewah untuk pemakaman orang tua kita? Perlukah membangun makam yang megah untuk menghormati orang tua kita? Dan yang lebih penting dari itu semua bagaimana kita bersikap dan beramal kelak kalau kita juga jadi lansia.

Sekali lagi bagi pembaca budiman yang sudah memasuki masa lansia, ini adalah hadiah sederhana untuk Oma, Opa, Eyang dan Bapak Ibu yang telah berjasa besar dalam kehidupan ini. Tanpa keberadaanmu apalah arti hidup ini? Tidak ada istilah terlambat untuk mencapai kemuliaan. Semoga kemuliaan dunia akhirat dapat kita peroleh.

Secara garis besar buku ini dibagi dalam enam bab.

Bab pertama membahas tentang doa dan kecemasan-kecemasan para lansia.

Meskipun tua merupakan kepastian, namun tidak semua orang siap dan ikhlas menghadapinya. Hal inilah yang justru menimbulkan kecemasan dan berdampak penurunan kualitas kesehatan atau sering sakit-sakitan para lansia. Cukup dengan doa, kecemasan itu tidak perlu lagi. Karena tua itu pasti, dewasa adalah pilihan.

Bab kedua membahas tentang sakit dan masalah kesehatan bagi lansia.

Tua identik dengan sakit. Pernyataan ini mungkin benar bagi yang melihat tua dari sisi negatifnya. Secara empiris, kenyataan tua semakin berisi, semakin matang dan semakin mulia. Nah lo...

Bab ketiga membahas para lansia hebat.

Bahwa benar lansia sudah tidak produktif, grafik dalam segala segi banyak yang menurun, namun pengalaman, petuah dan masa lalunya bisa kita jadikan motivator dalam diri untuk minimal menyamai prestasi mereka syukur melebihi mereka. Jadi .... ?

Bab keempat melihat adanya konflik antar generasi. Inilah dinamika hidup, anak-anak membantah orang tuanya. Orang tuapun berbeda pendapat kepada orang yang lebih tua. Ada apa ya….?

Bab kelima tentang kematian dan mempersiapkannya.

Kehidupan adalah siklus panjang diawali dari Allah menciptakan kita manusia dari setetes nuthfah hingga menjadi segumpal daging, menjadi bayi, anak-anak, dewasa, sampai menjadi orang tua dan lansia sebagai perjalanan akhir menuju kematian. Inilah proses hidup untuk hidup di tahap berikutnya yaitu alam akhirat. Karena kita sadar kelak akan merasakan semua, maka seharusnya kita bisa mempersiapkan.

Bab keenam membahas bagaimana adab bergaul, memuliakan orang tua, dan upaya mewujudkan kemuliaan bagi lansia. Agama adalah nasihat. Inilah nasihat itu! Karenanya kita akan mulia di dunia dan akhirat.

Berikut petikan tuntunan Islam dalam bergaul dengan orangtua. Allah berfirman dalam QS Al Isra’ 23-24.

23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[*].

24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

[*] mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Berikut sebuah puisi indah dari sastrawan Indonesia dalam menggambarkan kehidupan masa tuanya kelak. Saat menulis, beliau masih sangat produktif di usia yang masih muda namun imajinasinya jauh melebih usianya. Berikut kemuliaan seoarang penyair Darmanto Djatman.

Sekarang Bahwa Aku Merasa Tua

..............

Sekarang Bahwa Aku Merasa Tua

Gemetar tanganku nyentuh bibirmu

Istri yang tua

Bijak dan setia

Tak ada lagi asmara untuk kita berdua

Hanya tinggal angan-angan

Menetes pada kedua telapak tangan kita

...................

Darmanto Djatman, 1979

Rabu, 04 Juni 2008

tentang tata surya

Ribuan bintang di jagat raya ini membentuk gugusan bintang yang disebut galaksi, yang salah satunya adalah galaksi Bimasakti (Milky Way). Dalam galaksi Bimasakti terdapat Tata Surya. Alam semesta terbentuk dari ribuan galaksi.
Tata surya adalah sistem yang terdiri dari Matahari dan benda-benda langit lain yang bergerak mengelilinginya. Anggota tata surya terdiri dari Matahari, Planet-planet, satelit, Asteroid, Komet dan Meteor.

belajar ips

IPS banget, sebuah forum untuk meningkatkan confidence. Percaya dech, bahwa IPS dibutuhkan untuk hidup dan kehidupan. Setujukah Anda dengan pendapat ini? lets joint us......